Kamis, 05 Desember 2013

Makalah Pendidikan Agama Kristen tentang POLITIK



Makalah Pendidikan Agama Kristen

POLITIK




Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Pendidikan Agama Kristen


Disusun oleh :

Christian johan                      931 22201 13109
Dian Pirade                            931 22201 13113
Ivan Masarrang                      931 22201 13122
Arianto Lepong Bulan                       931 22201 13123
Suarno palinggi                     931 22201 13133
Natar Rantesalu                     931 22201 13135

                                   

Dosen :   Pdt. Ny. Fien S, M.Th.
Kelas    :   E



FAKULTAS TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA PAULUS
2013

KATA PENGANTAR

Di zaman modern ini, kata politik bukan lagi kata yang jarang didengar oleh masyarakat. Apalagi di masa reformasi yang semakin menunjukkan banyak terjadi penyimpangan dalam bidang politik. Jadi tidaklah mengherankan apabila banyak hal yang terjadi di dunia ini dihubungkan dengan politik. Ada begitu banyak respon dan tanggapan dari berbagai kalangan yang berbeda, termasuk menurut agama Kristen.

Cukup banyak orang Kristen, termasuk mahasiswa Kristen, yang takut atau antipati terhadap politik. Hal ini terjadi akibat image negatif dari politik yang dianggap tempat iblis atau setan bermain. Adanya konsep pemikiran seperti ini timbul karena mereka tidak memahami esensi dan makna politik dengan benar. Sebab mau tidak mau masyarakat, khususnya umat Kristen, pasti dihadapkan dengan masalah politik.

Semakin banyak peran dan pengaruh gereja dalam politik diharapkan semakin menunjukkan citra Kristus yang ada dalam setiap jemaat-Nya. Karena kita diciptakan untuk menjadi kepala dan bukan ekor, serta manusia telah diberikan kuasa untuk menaklukan dunia, meruntuhkan tembok yang berabad-abad telah memisahkan kekristenan dengan dunia luar sehingga bisa membawa pembaharuan di negeri yang dipilih Tuhan untuk kita berdiam.

Dalam makalah ini kami menguraikan tentang politik, pandangan Alkitab dan iman Kristen terhadap hal tersebut, aplikasinya, dan segala yang berhubungan dengan politik menurut iman Kristen. Kami mengharapkan ada suatu pelajaran yang bisa dipetik dari makalah ini dan setiap dari kita bisa mengaplikasikannya dalam hidup sehari-hari. Kami mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini ada begitu banyak kekurangan sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk menjadikannya lebih baik lagi.
Tim Penyusun

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii

PEMBAHASAN
1.      Pengertian Politik ............................................................................................ 1

2.      Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik ..................................... 1

3.      Konsep Alkitab terhadap Politik ................................................................................................ 2

a.      Politik Kesejahteraan ................................................................................................... 2

b.      Realitas dan Pemaknaan Teokrasi ............................................................................ 3

                                                              i.      Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom ............................................. 3

                                                            ii.      Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja) .............................................. 5

c.       Berasal dari Allah ................................................................................. 7

4.      Teologi Politik Kristen di Indonesia ...................................................................... 8

5.      Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen ......................................................... 9

6.      Implikasi-implikasinya ................................................................................. 10

7.      Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas ....................................... 11

8.      Etika Politik ................................................................................................. 13


KESIMPULAN ............................................................................................................. 15

KATA PENUTUP .......................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................................... 17








ii
PEMBAHASAN
1.     Pengertian Politik
Dilihat dari sisi etimologisnya, kata ‘politik’ berasal dari kata Yunani, yaitu Po’lis yang diartikan sebagai kota (city). Dalam perkembangan berikutnya, kota-kota memperluas diri atau menyatukan diri dan kemudian disebut negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya (William Ebenstein; Political Science, 1972. p.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy, 1969. p. 4).

Banyak pendapat masyarakat mengenai definisi politik. Di antaranya yaitu menyatakan politik adalah proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat bagi masyarakat/proses alokasi dan distribusi inti proses politik adalah : Keputusan yang mengikat masyarakat, melibatkan sejumlah ketentuan-ketentuan politik (partai politik,kelompok, kepentingan, dan sebagainya) untuk kepentingan dan kebaikan bersama.

2.     Keterlibatan Lembaga-lembaga Masyarakat dalam Politik
Lembaga-lembaga yang ada dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, (termasuk lembaga keagamaan) merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhikebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan berbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.

Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement ) dari lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga.

1
Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, tentu saja akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya.

Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan positif yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka serta mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Namun, satu hal yang harus disadari adalah bahwa semua itu tidak akan berjalan dan tercapai dengan sendirinya.Sangat diperlukan proses yang terus-menerus untuk membuka kesadaran bersama dalampengelolaan politik. Salah satu poin yang terpenting dalam hal itu adalah persoalanperspektif pilihan sadar dan sengaja dari tiap insan politik alias manusia itu sendiri yangsejatinya merupakan mahluk politik.

3.     Konsep Alkitab terhadap Politik
Menurut Alkitab, politik adalah suatu upaya dan proses sadar untuk memahami dan memaknai realitas politik dari cara pandang dan pola pikir Alkitab. Pertanyaan kuncinya jelas: apa kata Alkitab terhadap politik? Bagaimana konsepsi dan sistem politik yang sesungguhnya dikandung Alkitab? Bagaimana penerjemahannya secara tepat ke dalam realitas? Atau lebih pas: bagaimana konsep atau doktrin politik itu mengalami ‘pemanusiaan’ dan ‘penduniaan’?. Berangkat dari pertanyaan itulah penjelajahan menyangkut konsepsi politik Alkitab dilakukan.
a.      Politik Kesejahteraan
Perkatan politik (city) muncul dengan tegas dalam Yeremia(29:7): And seek the peace of the city … and pray to the Lord for it (city:red); for in its (city:red.) peace you will have peace. (Holy Bibel: Gideon International, 1980). Mencari atau mengupayakan kesejahteraan kota (politik), jelas merupakan amanat Alkitab pada umat Tuhan. Dengan demikian, penataan politik tidak bisa dilepaskan dari urusan Tuhan di segala tempat, ruang dan waktu.
2
Amanat atau perintah Alkitab untuk berpolitik bagi umat di dalam kitab Yeremia itu, tidak serta merta diikuti dengan suatu bentuk atau sistem, apalagi yang menyangkut prosedur dan mekanisme penataan politik yang detail. Pertanyaan penting muncul: Apakah Alkitab memberi konsep kosong atau memberi keleluasaan kepada umat terutama para pemimpinnya?

Tampaknya, jawaban yang ‘imaniah’ adalah: keleluasaan. Alkitab tidak memberikan
suatu paku mati, konsep baku dan menyeluruh menyangkut upaya perealisasian dari politik itu. Formula politik itu tidak menjadi urusan Alkitab, tetapi menjadi suatu keharusan yang dirumuskan umat Tuhan. Alkitab hanya memberikan suatu konsepsi yang sangat fundamental: to seek peace (mengupayakan kesejahteraan politik). Kepada umat Tuhan, Alkitab memberikan kesempatan yang seluas-luasnya untuk merumuskan suatu formula politik, baik itu menyangkut dasar dan sistem politik, bentuk, prosedur dan mekanisme pemerintahan. Alkitab hanya memberi satu tekanan dan kepastian: kesejahteraan.

b.      Realitas dan Pemaknaan Teokrasi
                                i.            Regnum Sacerdotale, Sacerdotal Kingdom
Merujuk kepada naskah yang lebih muda di Alkitab, kisah penciptaan memberikansuatu konsepsi menyangkut citra dan peran manusia di dalam proses dan realitaspolitik. Pencitraan manusia sebagai imago dei (Kej. 1:28) merupakan konsepsi politik Alkitab untuk menjelaskan hubungannya dengan semesta alam. Demikian juga pemberian kuasa dan mandat bagi manusia untuk menata dan mengelola alam, sangat jelas sifat politisnya.

Suatu bentuk dan ciri politik dinyatakan kepada Musa. ‘Engkau akan menjadi kerajaan imamat dan bangsa yang kudus…’ (Kel 19:6). Di sini jelas ada suatu progres dari pengelolaan politik yang disampaikan kepada bangsa Israel.

3
Pernyataan Tuhan kepada Musa mengenai penataan politik itu tidak dapat dilepaskan dari proses awal eksodus yang dialami bangsa Israel. Mereka hidup dalam situasi ‘tohu wavohu’ , (campur baur dan kosong) dalam arti politik. Status budak yang melepaskan diri melalui perlawanan, digiring menuju tanah perjanjian yang bagi sebagian besar kaum awamnya tidak jelas kapan tibanya.

Paling tidak kita dapat menangkap tiga hal dari teks kerajaan imamat itu, yakni: a)bentuk politik itu adalah kerajaan; b) ciri dari kerajaan itu adalah imamat dan memiliki ciri dan jati diri tersendiri. Artinya kerajaan yang harus berbeda (kudu) dari segala kerajaan atau bentuk politik yang lain di dunia ini; c) istilah Kerajaan imamat dari perspektif politik pasti membawa kita pada pemikiran bahwa penguasa politik atau pemimpin pemerintahan adalah para orang kudus yang disebut Imam. Sumber kader kepemimpinan atau penguasa politik sudah jelas:para imam. Inilah yang disebut regnum sacerdotale atau sacerdotal Kingdom.

Undang-Undang Dasar dalam bentuknya yang sangat embrional diberikan kepadabangsa yang secara politik belum memiliki wilayah itu. Dasar titah dapat dilihatpada dua bagian, Kel. 20:1-17 dan Ul. 5:6-21. Untuk yang lebih praktis dalampengaturan kebutuhan keseharian pada masa itu (semacam penjabaran dari UUD)diberikan hukum ringkas berupa ritual decalog dan ethical decalog (Kel. 34:12-16). Termasuk kewajiban memperingati hari bersejarah secara ritual (34:18).

Realitas politik yang berangkat dan mengacu dari penelusuran Alkitab di atas, sangat dipahami, bahkan diyakini sebagai teokrasi (pemerintahan Tuhan).



4
Kenyataan yang demikian dapat menggiring kita kepada kesimpulan bahwa kelihatannya Alkitab tidak memberi penjelasan mengenai suatu bentuk pemerintahan. Rumusan atau penjelasan yang tiba kepada kita adalah: Tuhan menjadi penguasa tunggal dan manusia berada dalam naungan kedaulatanNya.

                              ii.            Ketegangan Pengangkatan Melekh (Raja)
Israel sebagai komunitas pilihan Tuhan, pada tahap yang sangat awal kelihatannya baru mulai belajar untuk membentuk diri menjadi identitas politik. Tatanan sosialnya sebagai suatu bangsa, belum memiliki kesanggupan untuk menjadi perangkat politik. Suku-suku yang ada, hanya diikat dan terikat pada satu keyakinan terhadap Yahwe yang membebaskan mereka dari penindasan Mesir. Dari tinjauan politik, keterikatan tersebut jelas sangat longgar.

Namun, berangkat dari fondasi satu-satunya itu, yakni keyakinan pada Yahwe tersebut, suku-suku Israel terbentuk atau membentuk diri menjadi aliansi politik. Liga suku-suku itulah yang kemudian menjadi konfederasi Israel. Keterikatan politik yang didasari keyakinan agamiah itu yang menjadikan para Imam sebagai pemimpinnya, disadari atau tidak menjadi satu perangkat politik dalam tatanan sosial keagamaan Israel.

Gerakan bagi adanya seorang raja manusia (melekh) mulai muncul. Gerakan ini, tanpa disadari merupakan suatu perlawanan terhadap tradisi pewarisan turun-temurun berdasarkan garis darah dalam kepemimpinan selama ini, terutama untuk imam (dari garis suku Lewi). Dua anak Samuel, Yoel dan Abia, yang diangkat Samuel menjadi hakim di Bersyeba, digugat para tetua Israel (1 Sam: 8:4). Kualitas moral kedua anak Samuel menjadi dasar dari gugatan para tetua itu: ‘mereka mengejar laba, menerima suap dan memutarbalikkan keadilan’ (1.Sam 8:3).
5
Kelompok Imam dan kaum konservatif dengan keras menolak aspirasi gerakan ‘melekh’ tersebut. Hal itu sangat jelas tercermin dalam pernyataan Samuel dengan mengangkat dasar legitimasi tertinggi konfederasi Israel sendiri, yakni: Yahwe. “sebab bukan engkau yang mereka tolak, tetapi Akulah (Yahwe: red) yang mereka tolak, supaya jangan Aku (Yahwe: red) menjadi raja atas mereka.’ (1 Sam.8:7 b).

Dengan kemenangan gerakan ‘melekh’, konsekuensi politisnya adalah dekonstruksi doktrinal atau ‘amandemen UUD’. Itu berarti, pemaknaan dan perumusan menyangkut kerajaan Allah atau teokrasi mengalami perubahan. Dasar hukum dari pengadaan dan pengangkatan “melekh’ harus ditetapkan. Persoalan mengenai ketertautan Yahwe dengan Israel atas adanya seorang raja,mau tidak harus dirumuskan.

Saul dari keluarga Matri, kaum Kish dari suku yang terkecil keturunan Benyamin dipilih Tuhan menjadi raja di hadapan suku-suku Israel. Dengan merujuk pada proses keterpilihan dan pengangkatan Saul sebagai raja dan sekaligus pelaksanaan kekuasaannya sebagai raja (1 Sam. 9-15), penggantinya raja Daud (16-24), dan pengangkatan Salomo (1. Raja. 1), ada berapa hal yang berkaitan dengan pemaknaan teokrasi:
Pertama, pada proses Saul, kedaulatan Yahwe (teokrasi) atas Israel tetap dipertahankan dan diakui. Yahwe sendiri yang memilih, menentukan dan mengurapi Saul (1. Sam. 9 dan 10). Pencabutan mandat atas Saul juga dilakukan Yahwe (15) dan sekaligus pilihan atas penggantinya, Daud (16) yang berasal darisuku Efrata.
Kedua, perjanjian Sinai bahwa Yahwe adalah sumber dan dasar Israel (teokrasi),tetap dipertahankan. Meskipun aspirasi gerakan ‘melekh’ diterima sebagai realitas politik, namun hal itu diakui sebagai dosa dan bangsa Israel meminta ampun untuk itu (12: 17-19).

6
Ketiga, fungsi Imam sebagai perantara (medium) Yahwe dan sekaligus pengawas atas tugas-tugas raja juga tetap dipertahankan. Kedudukan Imam sebagai medium dan advisori, inilah yang sekaligus menandai hakikat teokrasi itu.
Keempat, proses peralihan kekuasaan dari Saul kepada Daud tidak berjalan mulus. Saul tetap mempertahankan kekuasaannya dan berupaya melenyapkan Daud.Dalam konteks ini, lembaga kerajaan (Saul) mengabaikan dan mengebiri lembaga Imam dan dengan itu menjadikan dirinya juga medium (perantara) langsung dengan Yahwe (teokrasi).
Kelima, dalam garis teokrasi yang demikian terjadi peralihan kekuasaan dari Daudke penggantinya. Daud sendiri yang menetapkan Salomo, anak haram, hasil perselingkuhannya dengan Batsyeba, setelah melampaui persaingan internal keluarga. Fungsi Imam, nabi Natan kelihatan hanya melaksanakan seremoni bagi legitimasi kekuasaan raja. Bermula dari hanya ‘mezbah’ sebagai medium bagi Yahwe menyatakan kedaulatan dan titahnya, teokrasi Israel bergerak membentuk ‘tahta’ yang juga mediumNya. Keduanya tetap eksis, pada waktu dan tempat yang sama, bergayut pada Allah yang sama: Yahwe.

c.       Berasal dari Allah
Berangkat dari keyakinan teokratis, dengan Yahwe yang perkasa, Israel kemudian Yahudi mengembangkan doktrin messianis: kejayaan bangsa dengan datangnya pemimpin nan digdaya untuk menaklukkan semua orang dan memerintah atas seluruh dunia. Namun, pada akhirnya, Israel sebagai entitas agama dan politik, patah terkulai, dilanda kemunduran dan kehancuran.

Kelahiran Yesus (yang dimaknai sebagai awal kehadiran gereja) memasuki era yang sangat berbeda. Gereja tidak hanya bergumul dengan pemikiran dan perumusan politik teokrasinya, tetapi hidup di dalam dan dan berhadapan realitas politik yang sama sekali tidak mengenal Allah.
7
Para pengikut Yesus, yang hidup dan menjadi bagian dari politik negaranya, menuntut pemahaman terutama menyangkut loyalitas. Kepada siapa loyalitas tertinggi ditaruh dan dipertaruhkan: kepada raja atau kepada Allah.

Berhadapan dengan realitas yang demikian, teologia politik dirumuskan Yohanes bin Zebedeus, manakala kekaisaran imperium Romawi di tangan raja Dominiatus. Persekusi besar-besaran terhadap seluruh pengikut Kristus diperintahkan di seluruh imperium Romawi itu. Terhadap realitas itu kitab Wahyu memberi makna teologis menyangkut sifat dan hakikat kekuasaan yang kuat, sadis dan kejam. Namun semua itu bukanlah akhir, bukanlah bentuk final dari segala-galanya. Kuasa Allah ada di ujung, yang mengatasi dan mengakhiri semua itu. Karenanya, inti teologia politik kitab Wahyu adalah: orang Kristen sama sekali tidak boleh tunduk menyembah raja atau ilah manapun, selain Tuhan.

Paulus memberikan panduan teologis berupa pemahaman yang sangat positif mengenai pemerintah. Pemaknaan secara teologis dengan muatan teokrasi diberikan: ‘… sebab tidak ada pemerintah yang tidak berasal dari Allah, dan pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah’ (Roma 13: 1b) ... ’karena pemerintah adalah hamba Allah…’(13:4a). Dalam garis pemikiran itulah kepada tiap orang diarahkannya untuk ‘takluk’ dengan batasan yang jelas: ‘… barangsiapa yang melawan pemerintah, ia melawanketetapan Allah…’ (Roma 13:2).

4.     Teologi Politik Kristen di Indonesia
Upaya berteologia politik telah lama ada dalam khasanah keristenan di Indonesia. Sebagai suatu proses yang tidak pernah berhenti, eksperemintasi berteologia politik itu telah dicatat sejarah pada masa penjajahan. Bahkan dapat dikatakan unik, sebab upaya itu tidak berangkat dari laboratorium intelektual, tetapi justru dari kalangan publicans, seperti Pattimura yang melakukan gerakan politik dengan mengangkat senjata di Maluku dan Manullang dan kawan-kawan di tanah Batak yang melakukan bentuk-bentuk penyadarandan pengorganisasian yang mengusung tema-tema kemandirian dan kerja keras.
8
Pada masa-masa pembebasan diri dari penjajahan, orang-orang kristen juga telah melakukan bentuk-bentuk teologia yang operasional dengan mendirikan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan sebagain merubah diri menjadi partai politik. Kita dapatmencatat perkumpulan sosail Mardi Pratojo yang kemudian menjadi Partai PerserikatanKaum Kristen (PKC) atau Christelijke Ambonche Volksbond (CAV), dll. Hal yang sama juga terjadi pada saat Indonesia merdeka. Partai Kristen Indonesia (Parkindo) hadir sebagai bagian dari upaya dan proses berteologia politik secara operasional.

Hanya saja, proses-proses tersebut mengalami pasang surut disebabkan faktor internal dan situasi politik negara. Muatan atau tema-tema yang diusung dan dikomunikasikan kepada orang-orang kristen adalah dari dan demi kepentingan ‘orang kristen’. Sesuatu yang seringkali dikatakan orang sebagai lebih berpolitik ‘teknis’ ketimbang berpolitik ‘etis’.

Disadari atau tidak, telah terjadi pembiaran yang berkepanjangan dalam tataran konseptual
teologia politik kristen di Indonesia. Dasar berpijak dalam tabung ‘independensi’ gererja,
dalam realitasnya seringkali diterjemahkan sebagai netralitas dan sterilisasi politik dalam semua ruang gereja. Tidaklah mengherankan bila kekristenan mengalami kegamangan demi kegamangan menghadapi berbagai realitas politik di Indonesia.Sesungguhnya, independensi tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan dan tanggung jawab politik gereja. Perumusan menyangkut keterlibatan dalam konteks independensi harus dirumuskan batasan-batasannya secara teologis. Berangkat dari pemahaman dan kesadaran yang demikian, gereja-gereja akan terdorong dan dimampukan melahirkan teologia politiknya yang otentik.
5.     Tanggung Jawab Sosial Politik Umat Kristen
Orang kristen harus menghormati kewibawaan pemerintahan dunia selama kebijakan itu dilakukan demi kesejahteraan masyarakat dan didasarkan pada undang-undang yang berlaku. Tetapi kebijakan itu tidak boleh mengambil alih kewibawaan atau wewenang Allah. Bagaimana seharusnya orang kristen sebagai warga negara menaati lembaga-lembaga resmi negara yang mengatur kehidupan masyarakat dalam usahanya menegakkan kebenaran dan keadilan kesejahteraan masyarakat ditulis di Roma 13:13. Sikap orang kristen terhadap politik ada 3 bersifat antagonistis, rejektif, dan menyesuaikan.
9
Respon yang benar itulah yang lebih penting dan menentukan sikap kita terhadap berbagai gejolak politik yang terjadi. Allah menghendaki orang kristen taat kepada pemerintah, sesuai dengan pengertian bahwa pemerintah menjalankan tugas dan wewenang yang diberikan oleh Allah. Tentunya pmerintah harus mempertanggungjawabkannya kepada pemberi kekuasaan yaitu Allah sendiri (ayat 1).

Jika orang kristen tidak taat kepada pemerintah dan berpartisipasi secara aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab maka citra kekristenan akan rusak. Orang kristen harus mengakui lembaga pemerintahan yang diadakan oleh karena kehendak Allah (ayat 1).

Panggilan tersebut tentu menuntut peran aktif, yang harus dimulai dari pasal 12, yaitu penyerahan diri kepada Allah (Roma 12:1, 2) sehingga tidak menjadi serupa dengan dunia.Dengan demikian pemerintah dapat berperan sebagai hamba Allah (Roma 13:4). Ayat 5, ”…dengan suara hati”.

Justru di sinilah tugas dan tanggung jawab gereja (dalam pengertian umat Allah, bukandalam pengerrtian organisasi) supaya memampukan pemerintah menjadi hamba Allah. Inidapat terjadi hanya apabila orang kristen memenuhi panggilannya. Jadi sudah seharusnyakita menjawab panggilan itu, untuk menjadi garam dan terang dunia, biar melalui diri kitacitra Kristus boleh terpancar sehingga semua orang memuji dan memuliakan Allah.

6.     Implikasi-implikasinya
Sikap orang kristen dalam kehidupan politik hendaknya didasari atas penghayatan:
a)      Kekuasaan sebagai anugerah Allah
Kekuasaan bukan sesuatu yang buruk. Dengan demikian, jabatan dan kekuasaan itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengabdi kepada rakyat dan Tuhan.

b)      Keberpihakan kepada yang lemah
Para politikus kristen dipanggil karena memiliki keberpihakan kepada yang lemah,
10
karena dua alasan penting yaitu: kelompok masyarakat inilah yang sering kali menjadi korban penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Keberpihakan mereka tidak boleh dilandasi oleh sentimen yang bersifat primodial (suku, ras, atau agama). Namun, keberpihakan itu juga tidak membuat, dalam arti bahwa aturan dan hokum tidak berlaku bagi kelompok ini.

c)      Memiliki visi dan misi yang berorientasi pada rakyat dan kerajaan Allah
Visi dan misi para politikus kristen hendaknya tidak hanya dibatasi oleh lingkup dan waktu. Maksudnya kiprah dalam dunia politik tidak hanya dibatasi oleh konstituennya saja (kelompok pemilihnya) ataupun jangka waktu memiliki jabatan itu. Bahkan lebih jauh lagi para politikus kristen juga sekaligus adalah agen-agen eskatologis dan seharusnya ikut serta dalam menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah (keadilan,kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan) sampai dengan sepenuhnya.

d)      Mendorong perubahan yang benar dalam masyarakat Indonesia
Para politikus kristen hendaknya juga menjadi agen-agen perubahan. Untuk itu dibutuhkan keteladanan sikap perilaku yang baik. Setiap politikus kristen harus berani mengatakan “tidak” atas semua tawaran, bujukan, atau strategi-strategi yang dapat membuat jatuh pada tindak korupsi, kolusi ataupun nepotisme; menjauhi segala bentuk premanisme dan menegakkan hukum secara konsisten dan konsekuen.

7.     Sikap terhadap Pemerintah yang Salah Menggunakan Otoritas
Berkaitan dengan pemerintah (kepatuhan kepada pemerintah), Roma 13:1-7 menyatakan bahwa pemerintah adalah hamba Allah. Kekuasaan pemerintah berasal dari Allah, oleh karena itu pemerintah wajib menjalankan kehendak Allah untuk mengupayakan keamanan dan kesejahteraan rakyat. Maka titik tolak pelaksanaan tugas-tugas pemerintah (hukum atau undang-undang) haruslah bersesuaian dengan kehendak Allah. Sehubungan denganitu, pemerintah berhak dan wajib menjalankan hukuman kepada orang yang bersalah.
11
Sebagai umat yang telah mengenal kebenaran di dalam Kristus, tentunya setiap orang percaya bisa menilai apakah sesuatu itu benar atau tidak. Kematian Kristus adalah untuk menghancurkan kerajaaan kegelapan dan menegakkan Kerajaan Allah, dan orang kristen dipanggil untuk menyatakan kehendak Allah dan memuliakan nama-Nya dalam segala bidang kehidupan. Di dalam kemenangan Kristus, bumi menjadi pusaka orang rendah hati, sehingga orang kristen tidak boleh menyia-nyiakan perkara yang di bumi termasuk kebangsaan. Kebangsaan itu tidak lahir dari si iblis, tetapi dari Tuhan Allah.   bangsa itu tidak boleh dipisahkan dengan kecintaan hal kita. Demikian menurut pengajaran dari natur dan pengajaran Alkitab.

Oleh sebab itu, orang kristen mempunyai kewajiban yang lebih berat dalam perkara politik daripada orang lain. Sebab di bidang politik dan pemerintahan, peran orang kristen bukan semata-mata demi kesejahteraan bangsa, tetapi yang terutama semuanya dilakukan untuk kemuliaan nama Tuhan.

Otoritas yang berkuasa ditunjuk oleh Tuhan adalah Rasul Paulus pernah membuat pernyataan yang jelas mengenai bagaimana kita seharusnya berespon terhadap otoritas. Dalam hal ini kita seharusnya berespon terhadap otoritas “tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya” (Roma 13:1). Frasa setiap orang menyatakan tidak adanya pengecualian. Kita sebagai orang kristen tidak boleh menentang otoritas yang sah didalam kehidupan kita. Sebab tidak ada pemerintah yang tidak ditetapkan oleh Allah.

Pada zaman kita, otoritas memiliki reputasi negatif. Banyak pemimpin, baik dalam negara maupun kalangan sosial, salah menggunakan otoritas yang dimiliki. Tidak heran rasa hormat terhadap otoritas tampak seperti kebodohan yang naif. Namun kembali lagi, Tuhan mengatakan kalau kita harus menghormati otoritas yang sah, tidak peduli bagaimanapun otoritas tersebut karena “semua otoritas berasal dari Tuhan”. Bahkan dengan lebih tegas lagi, semua otoritas ditetapkan oleh Allah. Banyak orang yang benar-benar bergumul dengan arti dari ayat ini, perintah ini bisa tampak begitu sangat tinggi untuk mungkin ditaati oleh setiap orang kristen. Tetapi itulah tantangan untuk menjadi seorang pengikut Kristus.
12
8.      Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogatif Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.

Etika politik sesungguhnya berbicara pada tatanan nilai tentang negara dan proses-prosesyang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata.

Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yangada itu dapat mendengar dan menyalurkan berbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada ditengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.

Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedangberjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidakakan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.

13
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.
























14
KESIMPULAN
Dalam dunia politik dan hukum, sikap gereja yang perlu dkembangkan adalah sikap positif, kritis, dan kreatif. Positif artinya memandang dunia politik sebagai bidang pengabdian dan pelayanan panggilan dari Tuhan serta karena itu berasal dari pandangan positif ketika kita memberikan kontribusi sesuai iman Kristen. Kritis artinya tidak ragu-ragu memberI kritik jika penguasa berbuat kesalahan, menyimpang dari hukum dan prinsip-prinsip yang berlaku. Kritik yang sesuai dengan etika Kristen adalah kritik yang konstruktif (membangun, santun, dan memperdayakan), bukan kritik yang destruktif (menjatuhkan, vulgar, dan mencari kesalahan). Kreatif artinya berusaha memberikan terobosan atau alternative baru di tengah kebuntuan terhadap politik. Kita harus mampu berkomunikasi terbuka dan dialogis, tidak alergi terhadap perubahan.

Selain itu, gereja juga dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang politik danhukum antara lain:
a)      Gereja perlu terlibat dalam politik dan hukum. Dalam arti yang luas, ia mengikuti denganseksama berbagai perkembangan politik.

b)      Gereja perlu melakukan pertemuan konsultatif secara berkala dengan anggota-anggota jemaatnya yang terlibat dalam politik praktis.

c)      Gereja juga perlu mendengar masukan dari berebagai LSM ataupun perguruan tinggi Kristen yang menaruh perhatian terhadap kehidupan politik.

d)      Gereja perlu menyelenggarakan berbagai pembinaan ataupun juga forum diskusi yangmenggumuli masalah-masalah dan etikanya bagi anggota jemaatnya sehingga pemahamansalah yang dimiliki oleh anggota dapat dipatahkan dengan memperdalam kehidupan politik sesuai kapasitas dan kemampuannya.

e)      Gereja perlu terlibat dalam forum-forum dialog antar umat beragama.
 
15
PENUTUP
Demikianlah isi makalah ini kami buat. Semoga dapat bermanfaat bagi setiap pembaca. Dan jika ada kesalahan kata-kata dalam makalah ini kami mohon maaf.

Sekian dan terima kasih.



Makassar, 1 Desember 2013
Hormat kami,


_Kelompok 2_
 
















16
DAFTAR PUSTAKA

William Ebenstein; Political Science, 1972

Joice &William Mitchel; Political Analysis and Public Policy , 1969

Max Weber: Ancient Judaism, trans.: Hans Gerth & Dona Matindale, Illionis, The Free Press 1952

Holy Bibel: Gideon International, 1980

Davies, Peter, Hak-Hak Asasi Manusia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1994)

Bevere John, 2004

Bagaimana Anda Meresponi Ketika Anda Diperlakukan Tidak Adil, Jakarta: Light Publishing


Sinulingga, Risnawaty, Pendidikan Agama Kristen untuk Mahasiswa di Perguruan Tinggi Umum, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2006


/http://sobatbaru.blogspot.com/2008/11/pengertian-hukum.html







 17






"TERIMA KASIH_SALAM TEKNIK"